Rabu, 10 Mei 2017

Askep Hipopituitarisme




BAB I
A.    Latar Belakang
Menurut Tarwoto (2012), kelenjar pituitari atau hipofisis terletak pada dasar otak di bawah hipotalamus dengan ukuran yang kecil, tetapi memproduksi paling banyak jenis hormon. Hipofisis merupakan pusat pengaturan seluruh fungsi hormon tubuh manusia. Pengaturan keseimbangan hormon menjadi tumpuan hemoestasis manusia dalam menghadapi berbagai perubahan lingkungan. Pusat pengaturan hormon terbagi pada bagian anterior dan posterior hipofisis. Pada bagian anterior berperan dalam pengaturan metabolismeme, pertumbuhan dan perkembangan sel, perilaku dan reproduksi manusia. Sedangkan  pada bagian posterior berperan  dalam kesimbangan cairan dan elektrolit serta produksi air susu ibu.
Kegagalan produksi  seluruh hormon dari pituitari disebut Panhipopituitarism. Keadaan ini sangat jarang sekali terjadi dengan prevelensi 45 per juta orang atau insiden sekitar 4 per 100.000. (Jostel AC Lissett, 2005). Pada keadaan normal hormon-hormon pituitari selalu diproduksi kecuali hormon PRL dan oksitosin yang diproduksi pada saat-saat tertentu seperti pada saat kehamilan, persalinan dan masa menyusui.
Mengingat perannya yang sangat penting dalam  pengaturan berbagai fungsi tubuh maka apabila terjadi gangguan pada pituitari akan berdampak pada sekresi hormon dan fungsi dari organ terget. Gangguan pada pituitari dapat berupa peningkatan produksi hormon (hiperpituitari) maupun penurunan produksi  hormon (hipopituitari). Gangguan itu sendiri dapat berasal dari dalam pituitari (disfungsi pituitari primer) ataupun akibat dari luar yang umumnya dari disfungsi hypothalamus (disfungsi pituitari sekunder).
Terkait perannya yang begitu penting bagi tubuh, oleh sebab itu kami mengangkat maklah terkait klien dengan gangguan sistem endokrin “Hipopituitarisme”, agar dapat memberikan informasi terkait penyakit tersebut kepada teman-teman, pengajar bahkan khalayak banyak.
A.    Tujuan
1.      Tujuan Umum
Mampu memahami konsep pemberian asuhan keperawatan pada gangguan sistem endokrin, yaitu hipopituitari.
2.      Tujuan Khusus
a.       Mampu untuk menjelaskan pengertian hipopituitari
b.      Mampu menjelaskan penyebab hipopituitari
c.       Mampu memahami dan menjelaskan pengobatan dan pencegahan hipopituitari
d.      Mampu memahami dan menjelaskan asuhan keperawatan dengan gangguan hipopituitari

B.     Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penyusun membatasi ruang lingkup penulisan yaitu Asuhan Keperawatan Klien Gangguan sistem Endokrin.
C.    Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menggunakan metode deskriftif yaitu dengan menggambarkan konsep dasasr penyakit hipopituitarisme serta asuhan keperawatannya dengan literatur yang diperoleh dari buku-buku perpustakaan, internet, dan diskusi dari kelompok.
D.    Sistematika Penulisan
Penyusunan makalah ini terdiri dari IV (empat) bab yang disusun secara sistematis. Adapun sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan,  ruang lingkup penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II: Landasan teoritis, yang terdiri dari definisi, etiologi, maifestasi klinis, patofisiologi, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan, dan pencegahan.
BAB III: Asuhan keperawatan, yang terdiri dari pengkajian, diagnosa   keperawatan, rencana keperawatan.
BAB IV: Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.


















BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.    Definisi
Menurut Slyvia (2006), insufisiensi hipofisis pada umunya memengaruhi semua hormon yang secara hipofisis anterior. Oleh karena itu, manifestasi klinis dari hipopituitarisme merupakan gabungan pengaruh metabolik akibat berkurangnya sekresi masing-masing hormon hipofisis.
Kelenjar hipofisis posterior menyimpan dan mengeluarkan dua hormon, hormon anti deuretik atau vasopresin (ADH) dan oksitosin. Kedua hormon ini di hasilkan oleh hipotalamus. Organ target hormon ADH atau vasopresi adalah ginjal dan fungsi utamanya adalah:
a.       Mengatur osmolaritas dan volume air dalam tubuh.
b.      Meningkatkan permeabilitas tubuh dan ginjal terhadap air sehingga lebih banyak air yang direabsorbsi.
c.       Menstimulasi rasa haus.
Hipofisis anterior disebut juga sebagai kelenjar utama karena bersama dengan hipotalamus mengatur fungsi pengatur kompleks  berbagai kelenjar endokrin dalam tubuh. Hormon hipofisis anterior berada dibawah pengendalian timbal balik melalui kadar hormon kelenjar target, oleh karena itu kadar hormon hipofisis dalam darah meningkat bila terjadi kegagalan kelenjar target. Sebaliknya hipofisis anterior, diatur  oleh hipotalamus melalui hormon penghambat dan pelepas-hipotalamus yang dibawa ke hipofisis melalui pembuluh darah portal hipotalamus dalam jalur hipofisis.
Hipopituitarisme adalah keadaan dimana terdapat defisit atau kekurangan satu, beberapa atau semua hormon-hormon yang dihasilkan oleh pituitary (Tartowo, 2012). Hipopituitarisme adalah istilah umum yang mengacu pada setiap bawah fungsi dari kelenjar pituitari. Ini adalah definisi klinis yang digunakan oleh ahli endokrin dan ditafsirkan bahwa satu atau lebih fungsi hipofisis kekurangan. Istilah ini dapat merujuk kepada kedua anterior dan kegagalan kelenjar hipofisis posterior (Pituitary Network Association). Jadi dapat disimpulkan bahwa hipopituitarisme adalah suatu keadaan dimana terjadinya penurunan satu atau beberapa hormon yang dihasilkan oleh pituitari sehingga menyebabkan kurangnya hormon yang ada didalam tubuh, sehingga menyebabkan adanya komplikasi pada seluruh sistem yang ada didalam tubuh. Hipopituirisme biasanya terjadi akibat adanya kerusakan atau kegagalan kelenjar hipofisis anterior maupun posterior.
B.     Etiologi
Sejumlah kelainan dapat menyebabkan defisiensi satu atau lebih hormon pituitari atau hipofise. Kelainan ini dapat bersifat kongenital, traumatik (pembedahan hipofise, iradiasi kranial, cedera kepala), neoplastik (adenoma hipofise yang besar,  massa paraselar, kraniofaringioma, metastase, meningioma, infiltratif (hemokromatosis, hipofisitis limfositik, sarkoidosis, histiositosis X), vaskuler (apopleksia hipofise, nekrosis postpartum, penyakit sel sabit) atau infeksi (tuberkulosis, jamur, parasit) (Harrison, 2012). Selain itu, Tartowo (2012) menyebutkan beberapa penyebab atau etiologi  dari hipopituitarisme diantaranya:
1.      Adenomas pituitari atau tumor pituitari merupakan penyebab yang paling sering terjadi. Adanya tumor dapat menekan dan merusak pituitari  sehingga fungsinya dapat terganggu. Namun  demikian adenomas pituaitari juga dapat mengakibatkan peningkatan produksi hormon (hiperpituitari). Hasil penelitian menunjukan bahwa 30% pada adenomas mengalami defisiensi hormon pitutitary (Jostel A, 2005)
2.      Pembedahan atau operasi pituitari. Salah satu resiko operasi pituitari adalah terganggunya fungsi pituitari, hal ini juga tergantung pada ukuran, jenis tumor derajat infiltrasi maupun pengalaman dari ahli bedah
3.      Kelebihan zat besi, keadaan overload besi misalnya pada thalasemi, transfusi darah akan mengakibatkan penurunan jumlah sel hipofisis.
4.      Karena genetik, hal ini masih belum jelas idiopatik), diduga karena faktor mutasi gen
5.      Malnutrisi berat dan kehilanganberat badan yang cepat juga dapat merusak  hipofisis
C.    Patofisiologi
Menurut Tarwoto (2012), hipopituitarisme dapat disebabkan dari hipofisis itu sendiri maupun dari hipotalamus. Berkurangnya seluruh hormon pituitari jarang sekali terjadi, yang paling sering terjadi adalah  berkurang nya produksi satu atau sedikit hormon pituitari diantarnaya ACTH dan TSH. Berkurangnya atau tidak adanya hormon ini akan berakibat pada insufisiensi pada kelenjar target yaitu kelenjar adrenal dan tiroid.
Pada hipopituitari, manifestasi klinik yang sering muncul adalah menurunnya sistensi sekresi dan gonadotropin, LH dan FSH. Defisiensi LH dan FSH pada laki-laki mengakibatkan kegagalan tekstikular yaitu terjadi penurunan produksi terstosteron dari sel leydig dan menurunnya sprematogenesis dari tubulus seminiferus. Menurunnya produksi testosteron mengakibatkan lambatnya pubertas dan infertil pada laki-laki dewasa. Pada wanita defisiensi atau tidak adanya hormon gonatropin mengakibatkan kegagalan, ovulasi dan kegagalan mempertahankan korpus liteum sehingga wanita menjadi infertile. Difisiensi LH dan SH dapat juga mengakibatkan kegagalan dalam pembentukan seks sekunder.
Hormon lain yang paling sering terjadi pada gangguan hipopituitari adalah sekresi, sintesis, pelepasan dari GH sehingga produksi somatomedin. Somatomedin merupakan hormon yang diproduksi dihati dan di pengaruhi langsung oleh GH. Somatomedin berperan langsung dalam peningkatan pertumbuhan tulang dan kartilago. Dengan demikian defisiensi GH atau somatomedin pada anak-anak mengakibatkan penurunan pertumbuhan dan postur yang pendek.
Hipopituitarisme menunjukan sekresi hormon hipofisis anterior yang rendah, dan panhipopituitarisme menyatakan sekresi keseluruhan hormon hipofis anterior yang rendah. Keduanya dapat terjadi karena malfungsi kelenjar hipofisis atau hipotalamus. Akibatnya meliputi berkurangnya stimulasi organ target endokrin dan defisiensi hormon organ target dalam derajat tertentu, yang mungkin baru ditemukan setelah tubuh mengalami stres dan peningkatan sekresi yang diharapkan dari organ target tidak terjadi (Kowalak, 2012).





















Pathway
Genetik → Adenomas pituitari → Disfungsi hipotalamus→ Tumor

 


Defisit ACTH           Defisit TSH             Defisit LH&FSH      Defisit GH
Keletihan                     Penurunan                   Penurunan libido     Kerdil

Keletihan b.d peningkatan kelemahan fisik

Disfungsi seksual b.d menurunnya progesteron dan estrogen
 Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan fisik
Gangguan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh b.d menurunnya metabolisme rate
 





Sumber: Modifikasi dari NANDA NIC-NOC;
Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Endokrin.




D.    Manifestasi Klinis
Menurut Baradero (2009), manifestasi klinis dari gangguan hipopituitarisme antara lain:
1.      Tanda tanda klinis sesuai dengan penyebabnya, misalnya bakteremia, viral, hepatitis,dan trauma.
2.      Gangguan penglihatan dan papiledema
3.      Tanda-tanda defisit gonadotropin
a.       Menurun kadar FSH, LH serum, dan streroid gonad.
b.      Anak-anak mengalami keterlambatan pubertas
c.       Dewasa: wanita (oligomenoria atau amenorea, atrofi uterus dan vagina, potensial atrofi payudara, acrta hilangnya libido); Pria (hialngnya libido, jumlah sperma berkurang, gangguan ereksi, testis mengecil, dan rambut tumbuh rontok).
4.      Manifestasi defisit hormon pertumbuhan
a.       Anak-anak
Pertumbuhan lambat, tetapi bagian tubuh proporsional, terlalu banyak jaringan lemak, tetapi pertumbuhan otot buruk.
1)      Terlambat pubertas, tetapi pada akhirnya perkembangan seksual normal
2)      Kadar hormon pertumbuhan serum menurun
b.      Dewasa
1)      Tubuh pendek sekali
2)      Pertumbuhan otot buruk sehingga cepat lelah
3)      Emosi labil
4)      Manifestasi defisit prolaktin (ibu pascapartum tidak mengeluarkan air susu dan kadar prolaktin serum kurang)
5.      Manifestasi defisit TSH (tanda dan gejala hipotiroidisme serta kadar TSH serum dan tiroid hormon kurang)
6.      Kortikoid, defisit ACTH (kadar ACTH serum, glukokortikoid, dan adrenal androgen kurang)
Menurut Slyvia (2006), sindrom klinis yang diakibatkan oleh hipopituitarisme pada anak-anak dan orang dewasa berbeda. Pada anak-anak, terjadi gangguan pertumbuhan somatis akibat defisiensi pelepasan GH. Dwarfisme hipofisis (kerdil) merupakan konsekuensi dari defisiensi tersebut. Ketika anak-anak tersebut mencapai pubertas, maka tanda-tanda seksual sekunder dan genetalia eksterna gagal berkembang. Selain itu, sering pula ditemukan berbagai derajat insufisiensi adrenal dan hipotiroidisme mereka mungkin akan mengalami kesulitan disekolah dan memperlihatkan perkembangan intelektual yang lamban kulit biasanya pucat karena adanya MSH.
Kalau hipopituitarisme terjadi pada orang dewasa, kehilangan fungsi hipofisis sering mengikuti kronologis sebagai berikut: defisiensi GH, hipogonadisme, hipotiroidisme dan insufisiensi adrenal. Karena orang dewasa, telah menyelesaikan pertumbuhan somatisnya, maka tinggi tubuh pasien dewasa dengan hipopituitarisme adalah normal. Manifestasi defisiensi GH mungkin dinyatakan dengan timbulnya kepekaan yang luar biasa terhadap insulin dan terhadap hipoglikemia puasa. Bersamaan dengan terjadinya hipogonadisme, pria menunjukkan penurunan libido, hipotensi dan pengurangan progresi pertumbuhan rambut dan bulu di tubuh, jenggot, dan berkurangnya perkembangan otot. Pada wanita, berhentinya siklus menstruasi atau amenorea, merupakan tanda awal dari kegagalan hipofisis. Kemudian diikuti oleh atrofi payudara dan genetalia eksterna. Baik laki-laki maupun perempuan menunjukkan berbagai tingkatan hipotiroidisme dan insufisiensi adrenal. Kurangnya MSH akan mengakibatkan kulit pasien ini kelihatan pucat.
Kadang kala, pasien memperlihatkan kegagalan hormon hipofisis saja. Dalam keadaan ini, penyebab defisiensi agaknya terletak, pada hipotalamus dan mengenai hormon pelepasan yang bersangkutan. Pada pasien dengan panhipopituitarisme, selain memiliki tiga hormon basal yang rendah, juga tidak merespon terhadap pemberian hormon perangsang sekresi. Uji fungsi hipofisis kombinasi dapat dilakukan pada pasien ini dengan menyuntikkan :
1.      Insulin untuk menghasilkan hipoglikemia
2.      CRH
3.      TRH
4.      GnRH
Hipoglikemia dengan kadar serum glukosa yang kurang dari 40mg/dl, menyebabkan pelepasan GH, ACTH, dan Kortisol; CRH merangsang pelepasan ACTH kortisol; TRH merangsang pelepasan TSH dan prolaktin; sedangkan GnRH merangsang pelepasan FSH dan LH. Pasien panhipopituitarisme gagal untuk merespon empat perangsang sekresi tersebut. Selain studi biokimia, juga disarankan pemeriksaan radiografi kelenjar hipofisis pada pasien yang diperkirakan menderita penyakit hipofisis, karena tumor-tumor hipofisis seringkali menyebabkan gangguan-gangguan ini.
E.     Komplikasi
1.      Hipersekresi prolaktin (prolaktinemia)
Hipersekresi prolaktin (prolaktinemia) adalah abnormalitas endokrin yang sering  ditemukan dan disebabkan oleh gangguan hipotalamik-hipofisis. Hipersekresi hormon PRL mengakibatkan galaktoria dan disfungsi gonad. Galaktorea adalah hipersekresi air susu atau keluarnya air susu walaupun periode laktasi sudah selesai.
Prolaktin serum yang normal adalah <20 ng/dl. Prolaktin adalah kontrasepsi ilmiah (menghambat gonatropin-releasing hormon). Prolaktin juga diperlukan untuk laktasi. Tanda-tanda klasik hiperprolaktin adalah:
1.      Galaktorea dan amenorea pada wanita
2.      Ginekomastia, galaktorea serta berkurangnya libido dan ereksi pada pria
Yang termasuk mekanisme patofisiologi hipersekresi prolaktin adalah gangguan dopamin, hipersekresi adenoma hipofisis, dan sekresi neurogenik yang dicetuskan oleh trauma pada dada, misalnya fraktur tulang iga. Keluarnya prolaktin dikendalikan oleh hipotalamus terutama dopamin (Baradero, 2009).


2.   Tumor Hipofisis Penghasil Prolaktin
Kombinasi pengeluaran susu yang terus menerus dan tidak adanaya menstruasi galaktore amenore merupakan sindrom endokrin yang relatif sering ditemukan pada perempuan. Keadaan ini berkaitan dengan peningkatan sekresi prolaktin. Adanya galaktore biasanya dapat di perhatikan dengan menekan puting susu dengan tangan, meskipun dapat pula timbul secara spontan, dan dapat bersifat ringan sampai berat. Peningkatan kadar prolaktin mungkin menyebabkan amenore yang adsa kaitannya dengan keadaan ini. Proklatin di anggap dapat menghambat sekresi hormon gonadotropin dengan mengganggu sekresi GnRH dari hipotalamus. Selain itu, prolaktin dapat menghambat pengaruh gonadotropin terhadap gonad.
Pasien dapat mengalami galaktore dan peningkatan kadar prolaktin tanpa ditemukannya adenoma hipofisis, agaknya mereka mengalami gangguan penghambatan tonik normal dari pelepasan prolaktin oleh hipotalamus. Galaktore dapat ditemukan pada:
1.      Lesi hipotalamus yang menggangu pelepasan dopamin,
2.      Obat-obatan yang memengaruhi sistem susunan saraf pusat (fenotiazin, antidepresan, haloperidol, alfa metildopa)
3.      Kontrasepsi oral dan estrogen
4.      Gangguan endokrin seperti hipitiroidisme dan hipertiroidisme
5.      Faktor-faktor neurogenik lokal
6.      Perangsangan payudara
7.      Cedera pada dinding dada,
8.      Lesi pada medula spinalis
Adanya sindrom galaktore-amenore, menyebabkan perlu diperoleh kadar prolaktin serum basal. Kalau kadar prolaktin lebih tinggi dari normal, maka harus dilakukan pemeriksaan radiografik selatursika, termasuk CT scan kelenjar hipofisis dengan potongan koronal dan MRI. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya kelainan  yang berupa mikroadenoma hipofisis.
Tumor hipofisis penghasil prolaktin juga ditemukan pada laki-laki, dengan hiperprolaktinemia yang terjadi dihubungkan denagan hipogonadisme dan oligospermia. Tumor ini sering kali berukuran besar dan meluas hingga ke luar batas sela tursika. Penatalaksanaan mikroadenoma hipofisis penghasil prolaktin pada laki-laki sama dengan apa yang telah dibahas pada permpuan.
3.         Gangguan Sekresi Vasopresin
Vasopresin arginin (AVP) merupakan suatu hormon antidiuretik (ADH) yang dibuat di nukleas supraoptik dan paraventrikular hipotalamus bersama dengan protein pengikatnya, yaitu neurofisin II. Vasopresin kemudian di angkut dari badan-badan sel neuron tempat pembuatannya, melalui akson menuju ke ujung-ujung saraf yang berada di kelenjar hipofisis posterior, tempat penyimpanannya. Sekresi AVP di atur oleh rangsang yang meningkat pada reseptor volume dan osmotik.
Gangguan sekresi AVP termasuk diabetes insipidus  (DI) dan sindrom ketidakpadanan sekresi ADH. Pada pasien dengan DI,  gangguan ini dapat terjadi akibat tidak responsifnya tubulus ginjal terhadap vasopresin (DI nefrogonik) walaupun kadar hormon ini sangat tinggi.  Ada beberapa keadaan yang dapat mengakibatkan diabetes insipidus, termasuk tumor-tumor pada hipotalamus, tmor-tumor besar hipofisis yang meluas keluar sela tursika dan mengancurkan nukleus hipotalamik, trauma kepala, cedera hipotalamus pada ssat operasi, oklusi pembuluh darah intraserebral, dan penyakit-penyakit granulomatosa. DI nefrogenik dapat diturunkan melalui mutasi dalam reseptor vasopresin atau dalam AqP2, saluran air, dan keadaan ini muncul pada anak-anak yang usianya kurang dari 2 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, DI nefrogenik timbul pada berbagai penyakit ginjal dan penyakit sistemik yang juga menyerang ginjal, termasuk juga mieloma multiple, anemia sel sabit, hiperkalsemia, dan hipokalemia. Terapi litium untuk gangguan bipolar dapat juga menyebabkan tidak adanya respons terhadap vasopresin.
Pasien dengan DI mengalami polidipsiab dan poliuria dengan volume urin antara 5 hingga 10 L/hari. Kehilangan cairan yang banyakn melalui ginjal ini dapat dikompensasi dengan minum banyak cairan. DI sentral diobati dengan AVP. Preparat yang paling sering di pakai adalah 1-desamino-8 D-arginin vasopresin (DDAVP), diberiakn intranasal atau oral dan memiliki jangka waktu kerja dari 12-24 jam. AVP tidak efektif pada pasien dengan DI nefrogenik. SIADH biasanya ditemukan menyertai penyakit-penyakit hipotalamus atau paru atau terjadi setelah pemberian obat. Pasien akan mengalami sindrom hipoosmolar dengan kelebihan dan gangguan retensi air. Gejala-gejalanya merupakan akibat adanya hiponatremia berat dan menyerang sistem saraf pusat sehingga pasien mudah marah, kekacauan mental, kejang, dan koma terutama bila natrium dalam serum di bawah 120 mEq/L. Osmolalitas serum rendah, dan osmolalitas serum. Pengobatan SIADH di dasarkan pada pembatasan pemberian air, yaitu kurang dari 1000 ml/hari dan pemberian 3%-5% larutan NaCl yang di campur dengan furosemid. Diuretik ini akan menginduksi pengeluaran cairan dan NaCl, yang disimpan dalam dalam bentuk hipertonik. Demeklodiklin, suatu obat yang secara langsung menghambat efek vasopresin pada tingkat tubulus ginjal, dapat dipakai dengan efektif untuk memperbaiki hipoosmolalitas yang terjadi akibat adanya SIADH (Sylvia, 2006).
.
F.     Pemeriksaan Penunjang
Menurut Sudoyo (2009), diagnosis sekresi hormon hipofisis yang meningkat atau menurun dibuat berdasarkan temuan biokimia. Hipopituitarisme diduga pada keadaan dimana konsentrasi hormon perifer rendah namun tanpa disertai peningkatan hormon tropiknya.
1.      Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan kadar basal hormon dan pengukuran dinamis kadar hormon, tergantung dari jenis tumornya. Semua rumor harus diperiksa kadar hormon basal untuk screening, termasuk didalamnya pemeriksaan prolactin, tiroctropin, tirocsin, adrenokorticotropin, cortisol, LH, FSH, estradiol testosteron, growth hormon, insulinlike growth factor-1 (IGF-1), and alpha subunit glicoprotein. Sementara itu, kepustakaan lain hanya menganjurkan pemeriksaan kadar prolaktin pada keadaan dimana tidak ada gejala atau tanda yang mengarahkan kadar kelebihan atau kekurangan hormon tertentu, karena ini merupakan pendekatan yang paling cost-effective. Tes hormon dinamis dilakukan untuk menilai fungsi tumor dan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Selain itu dapat untuk menilai fungsi hipofisis anterior.
2.      Foto X-rays
Foto X-rays biasanya kurang baik untuk pencitraan jaringan lunak, sehingga sudah digantikan oleh CT-scan dan MRI. CT-scan cukup spesifik dan dapat mendeteksi tumor dengan klasifikasi, namun detailnya masih kalah jika dibandingkan dengan MRI. CT-scan lebih baik dalam memperlihatkan struktur tulang dan klasifikasi pada jaringan lunak daripada X-Rays dan MRI. CT-scan  berguna jika terdapat kontra indikasi terhadap penggunaan MRI, seperti pasien dengan pacu jantung kelemahan CT-scan yang lain adalah pajanan terhadap sinar radiasi yang tinggi. Hal-hal inilah yang membuat MRI merupakan modalitas terpilih untuk pencitraan hipofisis.
MRI lebih mahal jika dibandingkan dengan CT-scan, namun memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap struktur jaringan lunak dan pembuluh darah, selain itu juga tidak terjadi pajanan terhadap radiasi pengion. Resolusi yang tinggi membuat MRI dapat mengenali lesi kecil dan dapat diperlihatkan pula hubungannya dengan struktur sekitar. Sensitivitas MRI untuk mendeteksi mikroadenoma (yang dibuktikan dengan operasi) mencapai 100%, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan CT-scan yang hanya mencapai 50%. Spesifitas dan sensitivitas MRI mencapai 90% pada tumor sekretori. Pemberian gadolinium diethylenetriamine pentaacetic acid (DTPA) meningkatkan tingkat deteksinya. Angiografi cerebral tidak dikerjakan secara rutin, dan hanya dikerjakan jika dicurigai terdapat lesi vaskuler.



G.    Penatalaksanaan
Menurut Tarwoto (2012), beberapa jenis terapi hipopituitarisme yang dapat dilakukan diantaranya adalah:
1.      Pada hipoadrenalisme, seperti gangguan sekresi ACTH pada kekurangan glukokortikoid, diberikan cortison acetat, hidrokortison atau prednisone.
2.      Hipothitoidisme, pemberian tiroksin
3.      Hipogonadism, pemberian estrogen, progesteron pada wanita dan testoteron pada laki-laki
4.      Defisit GH dapat diberikan levodopa, insulin, atau bromocritine

H.    Penanganan dan Pengobatan Hipopituitarisme
Pengobatan hipopituitarisme teridiri atas terapi penggantian hormon termasuk GH manusia untuk anak yang menderita dwarfisme hipofisis, hormon kelenjar target-hidrokortison, tiroksin, androgen, atau estrogen. Sekresi prolaktin (PRL) berbeda dari hormon-hormon lain pada hipofisis anterior yang berada dalam pengendalian tonik hipotalamus, dan diperantai oleh dopamin (Slyvia, 2006).
Pengobatan pasien dengan adenoma hipofisis non-functioning disesuaikan dengan gejala  dan tanda klinis akibat penekan tumor pada jaringan sekitarnya. Misalnya sakit kepala dan gangguan penglihatan. Tujuan terapi adalah pengangkatan tumor, pengembalian penglihatan ke normal, serta pertahan fumgsi hipofisis anterior dan posterior (Baradero, 2009).
Pengobatan hipopituitarisme mencakup penggantian hormon-hormon yang kurang. GH manusia, hormon yang efektif hanya ada pada manusia, dihasilkan dari teknik rekombinasi asam dioksiribonukleat (DNA), dapat digunakan untuk mengobati pasien dengan defisiensi GH dan hanya dapat dikerjakan oleh dokter spesialis. GH manusia jika diberikan pada anak-anak yang menderita dwarfisme hipofisis, dapat menyebabkan peningkatan tinggi badan yang berlebihan. GH manusia rekombinan juga dapat digunakan sebagai hormon penggantian pada pasien dewasa dengan panhipopuitarisme. Hormon hipofisis hanya dapat diberikan dengan cara disuntikkan sehingga, terapi harian pengganti hormon kelenjar target akibat defisiensi hipofisis untuk jangka waktu yang lama, yang diberikan sebagai alternatif. Sebagai contoh, insufisiensi adrenal yang disebabkan karena defisiensi sekresi ACTH diobati dengan memberikan hidrokortison oral. Pemberian tiroksin oral dapat mengobati hipotiroidisme yang diakibatkan defisiensi TSH. Pemberian androgen dan ekstrogen dapat mengobati defisiensi gonadotropin, namun pemberian gonadtropin tersebut dapat menginduksi ovulasi. Defisiensi GH membutuhkan injeksi GH setiap hari (Slyvia, 2006).
















BAB III
Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Endokrin: Hipopituitarisme
A.    Pengkajian
Menurut Tarwoto (2012), pengkajian pada gangguan kelenjar pituitari sering mengalami kesulitan karena tanda dan gejalanya sangat bervariasi. Hampir seluruh sistem tubuh mengalami gangguan akibat pengaruh dari hromon, sehingga tanda dan gejala ada yang spesifik dan tidak spesifik. Untuk membantu mengidentifikasi gangguan pituitari  maka diperlukan pengkajian riwayat keperawatan tanda dan gejala spesifik dan tes diagnostik.
1.      Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan sangat penting dikaji, termasuk diantaranya riwayat penyakit sekarang yang dialami, riwayat keluarga, psikososial, gaya hidup. Riwayat kesehatan perlu dikaji untuk menggali informasi mengenai adanya faktor penyebab, keturunan atau faktor lain yang berkaitan dengan keluhan yang dirasakan. Riwayat penyakit terdahulu seperti riwayat trauma kepala, pembedahan kepala, infeksi otak, riwayat penggunaan hormon dan obat-obatan seperti glukokortikoid dosis besar.
2.      Riwayat Keluarga
Perlu dikaji riwayat keluarga yang berkaitan dengan penyakit endokrin misalnya riwayat penyakit diabetes melitus, penyakit tiroid, hipertensi, hipotensi, gangguan pertumbuhan dan perkembangan, tumor otak.
3.      Keluhan Utama
Keluhan pasien pada gangguan pituitari ada yang bersifat umum dan khusus.
a.       Gejala Umum
1)      Adanya kelemahan
2)      Nyeri kepala
3)      Depresi
4)      Gangguan tidur
b.      Gejala Spesifik, yang terkait sesuai dengan jenis hormon yang mengalami gangguan, namun secara spesifik dapat dilihat dari berbagai sistem tubuh:
1)      Perubahan tanda vital, peningkatan suhu tubuh dan nadi terjadi pada pasien dengan hipertiroid, penurunan suhu tubuh dan nadi lambat biasanya terjadi pada hipotiroid. Tekanan darah mungkin turun pada insufisiensi ADH karena dehidrasi dan meningkat pada over produksi ADH.
2)      Kardiovaskuler, adanya palpitasi pada hipertiroid dan phenochromocytoma.
3)      Integumen, adanya perubahan warna seperti adanya hiperpigmentasi dipersendian pada penyakit Addison, kulit kering, kasar, keras dan bersisik, seperti pada pasien dengan hipotiroidisme atau hipoparatirod. Edema juga dapat terjadi pada hipotiroid (myxedema). Adanya kerontokan rambut aksila dan pubis.
4)      Muskuloskeletal, kelemahan, nyeri pada persendian seperti pada hiperparatiroid, kerdil, gigantisme atau akromegali pada kelainan GH.
5)      Perkemihan, adanya batu ginjal pada hiperparatiroid, sering miksi pada gangguan ADH, diabetes insifidus.
6)      Persarafan, adanya perubahan status mental, depresi, penurunan kesadaran, tremor, kejang, gangguan sensorik, motorik, dan refleks, gangguan saraf kranial.
7)      Sistem gastrointestinal, adanya pembesaran bola lidah, kemrahan pada lidah (glossitis), penurunan berat badan, poliplagia, poliuria, polidipsi biasanya terjadi pada pasien DM, inkontinensia bowel dan konstipasi biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan tiroid.
4.      Pemeriksaan Fisik
a.       Keadaan umum, kaji kesadaran pasien, memori dan pola komunikasi. Observasi postur, proporsi tubuh, ukuran tubuh, berat badan dan tinggi badan. Observasi tanda-tanda kecemasan.
b.      Tanda vital, kaji perubahan tanda vital,  peningkatan suhu tubuh, nadi, pernapasan, nadi dan perubahan tekanan darah sering terjadi pada pasien dengan gangguan tiroid.
c.       Pemeriksaan kulit, observasi tekstur dan distribusi rambut, catat adanya kebotakan. Kaji warna, pigmentasi, strie, ekimosis. Palpasi keadaan kulit, tendernes, tekstur, turgor.
d.      Pemeriksaan kepala, catat keadaan kepala, bentuk dan proporsi kepala, catat adanya ukuran penurunan bibir dan hidung, penonjolan rahang, keadaan kulit kepala, keadaan rambut kepala. Observasi ekspresi wajah, tanda- tanda kecemasan dan depresi.
e.       Pemeriksaan mata, lihat dan palpasi alis mata, distribusi rambut, observasi posisi mata, kesimetrisan, ketajaman, pergerakan bola mata, keadaan bola mata (adakah eksotalmus), lapang pandang, kelemahan palpebra.
f.        Pemeriksaan mulut, catat adanya pertumbuhan gigi yang tidak rata, inspeksi warna mukosa mulut dan ukuran lidah.
g.      Pemeriksaan leher, perhatikan bentuk kesimetrisan dan posisi garis tengah trakea, palpasi adanya pembesaran kelenjar tiroid. Obeservasi adnya kesulitan menelan, nyeri menelan dan perubahan suara.
h.      Pemeriksaan dada, inspeksi pergerakan dada dan payudara, palpasi pengembangan dada dan taktil fremitus, auskultasi bunyi nafas dan suara jantung. Observasi adanya pernapasan cepat dan dangkal, atropi mamae pada wanita dan ginekomastia.
i.        Pemeriksaan abdomen, inspeksi bentuk abdomen, warna kulit seperti hiperpigmentasi, massa, skar dan jejas, asites, nyeri tekan catat, bising usus, pembesaran hati dan limpa.
j.        Pemeriksaan genitalia, catat adnya atropi testis, klitoris, distribusi rambut pubis.
k.      Pemeriksaan ekstremitas, kaji bentuk dan kesimetrisan ekstremitas, kekuatan otot, kelemahan tonus otot, pembesaran tangan dan kaki, nyeri sendi dan trunkei obesitas (badan besar ekstremitas kecil)
l.        Pemeriksaan neurologi, lakukan pemeriksaan motorik, sensorik, refleks dan fungsi saraf kranial. Adanya kelemahan, gangguan sensori, emosional tidak stabil sering dijumpai pada pasien gangguan pituitari.

B.     Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut The North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) adalah “ Suatu penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan yang aktual dan potensial. Diagnosa keperawatan memberikan dasar untuk pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan diamana perawat bertanggung jawab (Wong, D.L (2004: 596-610). NANDA NIC-NOC, diagnosa pada klien dengan hipopituitarisme adalah:
1.      Keletihan berhubungan dengan peningkatan kelemahan fisik
2.      Gangguan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan menurunnya metabolisme rate
3.      Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan menurunnya
4.      Gangguan body image berhubungan dengan perubahan penampilan fisik


C.    Rencana keperawatan
Rencana keperawatan merupakan serangkaian tindakan atau intervensi untuk mencapai tujuan pelaksanaan asuhan keperawatan. Intervensi keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku spesifik yang diharapkan dari pasien dan atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat. Berdasarkan diagnosa yang ada maka dapat disusun :
1.      Keletihan b.d peningkatan kelemahan fisik
Tujuan:
a. pasien akan beradaptasi dengan keletihan, yang dibuktikan oleh toleransi aktivitas, ketahanan, dan status nutrisi : energi, dan energi psikomotor.
b. pasien akan menunjukan penghematan energi dibuktikan oleh indikator berikut (sebutkan 1-5: tidak ada, jarang, kadang-kadang, sering atau selalu menunjukan)
1)      mempertahankan nutrisi yang adekuat.
2)      Keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
3)      Menggunakan teknik penghematan energi.
4)      Beradaptasi gaya hidup dengan tingkat energi.
Melaporkan ketahanan yang adekuat untuk aktivitas
Kriteria Hasil:
a.         Memverbalisasikan peningkatan energi dan merasa lebih baik
b.        Menjelaskan penggunaan energi untuk mengatasi kelelahan
c.         Kualitas hidup meningkat
d.        Istirahat cukup
Intervensi:      
a.         Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
b.        Dorong anak untuk mengungkapkan perasaaan terhadap keterbatasan
c.         Monitor nutrisi dan sumber energi yang adejuat
d.        Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan
2.      Gangguan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh b.d menurunnya metabolisme rate
Tujuan:
Menunjukan status gizi : asupan makanan dan cairan, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: tidak adekuat, kurang adekuat, cukup adekuat, adekuat, atau sangat adekuat) : asupan makanan dan cairan melalui oral [tidak berlebihan] .
Kriteria Hasil:
a.         Pasien mengungkapkan tindakan yang diperlukan untuk mencapai penurunan berat badan
b.        Pasien menunjukan pilihan yang tepat dari makanan atau perencanaan menu dengan tujuan penurunan berat badan
c.         Pasien mulai melakukan program latihan yang tepat
Intervensi:
a.         Modifikasi Perilaku: Memfasilitasi perubahan perilaku
b.        Manajemen gangguan makan: Mencegah dan menangani pembatasan diet yang sangat ketat dan aktivitas berlebihan atau memasukkan makanan dan minuman dalam jumlah banyak kemudian berusaha mengeluarkan semuanya
c.         Manajemen nutrisi: Membantu atau menyediakan asupan makanan dan cairan dengan diet seimbang
d.        Konseling nutrisi: memberi bantuan dengan proses interaktif yang berfokus pada kebutuhan untuk modifikasi diet
e.         Pemantauan nutrisi: Mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mencegah atau meminimalkan kurang gizi
f.          Bantuan menurunkan berat badan: Memfasilitasi penutunan berat badan dan lemak tubuh
3.      Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan menurunnya progesteron dan estrogen
Tujuan:
a.         menunjukan pemulihan dari penganiyaan : seksual, yang dibuktikan oleh indikator berikut (sebutkan 1-5: tidak ada, terbatas,  sedang, banyak atau sangat banyak) :
1)      adanya bukti hubungan jenis yang sesuai.
2)      Adanya bukti hubungan sesama jenis yang sesuai.
3)      Pengungkapan rasa nyaman dengan identitas gender dan orientasi seksual.
b.        menunjukan fungsi seksual, yang dibuktikan oleh indikator berikut (sebutkan 1-5: tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu): mencapai rangsangan seksual.
1)      Mencapai rangsangan seksual melalui orgasme.
2)      Mengekspresikan kemampuan untuk hubungan intim.
3)      Mengekspresikan penerimaan terhadap pasangan.
4)      Mengungkapan keinginan untuk menjadi seksual.         
Kriteria hasil:
a.         Perubahan fisik dengan penuaan
b.        Pengenalan dan penerimaan identitas seksual pribadi
c.         Fungsi seksual: integrasi aspek fisik, sosio emosi, dan intelektual ekspri dan performa seksual
d.        Menunjukkan pemulihan dari penganiayaaan: seksual
e.         Menunjukkan keinginan untuk mendiskusikan perubahan fungsi seksual
f.          Meminta informasi yang membutuhkan tentang perubahan fungsi seksual





Intervensi:
a.         Menginformasikan pasien di awal hubungan bahwa seksualitas adalah bagian penting dari kahidupan dan bahwa penyakit, obat-obatan, dan stres
b.        Memberikan informasi tentang fungsi seksual.
c.         Mulailah dengan topik-topik sensitif paling dan melanjutkan ke lebih senistif
d.        Diskusikan efek dari situasi penyakit/kesehatan pada seksualitas
e.         Diskusikan efek obat tentang seksualitas
f.          Diskusikan tingkat pengetahuan pasien tentang seksualitas pada umumnya
g.        Dorong pasien untuk verbalisasi ketakutan dan mengajukan pertanyaan

4.      Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan fisik
Tujuan:
a.         Gangguan citra tubuh berkurang yang dibuktikan oleh selalu menunjukan adaptaasi dengan ketunadayaan fisik, penyesuian psikososial: perubahan hidup, citra tubuh positif, tidak mengalami keterlambatan dalam kembangan anak, dan harga diri positif.
b.        Menunjukan citra tubuh, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut : (sebutkan 1-5: tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu ditampilakan) kesesuaian antara realitas tubuh, ideal tubuh, dan perwujudan tubuh.
1)      Kepuasan terhadap penampilan dan fungsi tubuh.
2)      Keinginan untuk menyentuh bagian tubuh yang mengalami gangguan.
Kriteria hasil:
a.       Body image positif
b.      Mampu mengidentifikasi kekuatan personal
c.       Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh
d.      Mempertahankan interaksi sosial
Intervensi:
a.         Kaji secara verbal dan non verbal respon klien terhadp tubuhnya
b.        Monitor frekuensi mengkritik dirinya
c.         Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kamejuan dan prognosis penyakit
d.        Dorong klien mengungkapkan perasaannya
e.         Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu
f.          Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil















BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pada keadaan normal hormon-hormon pituitari selalu diproduksi kecuali hormon  PRL dan oksitosin yang diproduksi pada saat-saat tertentu seperti pada saat kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Kegagalan produksi seluruh hormon dari pituitari disebut Panpituitarisme. Hipopituitarisme adalah keadaan dimana terdapat defisit atau kekurangan satu, beberapa atau semua hormon-hormon yang dihasilkan oleh pituitari. Adapun beberapa penyebab hipopituitarisme diantaranya adalah:
1.      adenomas pituitari atau tumor pituitari
2.      pembedahan atau operasi pituitari
3.      terapi radiasi
4.      implamasi pituitari seperti hipofisitis, tuberculosis, meningitis
5.      trauma kepala berat
6.      karena genetik
7.      kelebihan zat besi
8.      perdarahan post partum
9.      malnutrisi berat
Adapun tanda dan gejala hipopituitarisme tergantung dari jenis hormon yang berkurang, dimana mengakibatkan kelemahan, keletihan, menurunnya libido, pertumbuhan menjadi lambat, mengakibatkan diabetes melitus (DM) dan lain sebagainya. Selain itu ada beberapa hal yang dapat dilakukan diantaranya berikan cortison acetat, hidrokortison atau prednisone, pemberian tiroksin, pemberian estrogen, progesteron pada wanita dan testosteron pada laki-laki. Berikan levodopa, insulin atau bromocriptine.


B.     Saran
Dengan mengetahui dampak dari menurunnya atau hilangnya produksi dari kelenjar pituitari, maka hendaklah kita untuk selalu waspada terhadap faktor-faktor resiko yang ada. Sebagai tenaga kesehatan, kita dituntut undtuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang maksimal guna untuk membantu klien agar tetap dapat menerima bagaimanapun keadaaan yang ia alami. Memprioritaskan setiap asuhan keperawatan akan membuat klien lebih mudah dalam menjalankan setiap prosedur keperawatan. Oleh karena itu, kita harus paham dan mengerti, gangguan seperti apakah yang dialami klien, agar kita dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat pula.













Daftar Pustaka
Price A. Sylvia, Wilson M. Lorraine. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis  Proses-      
proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Sudoyo W. Aru dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 4.
Jakarta: InternaPublishing
Baradero Mary dkk. 2009. Seri Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan            
Endokrin. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Tarwoto. 2012. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Endokrin.              
Jakarta: CV Trans Info Media
Nurarif Huda Amin dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan  Diagnosa Medis Nanda. Yogyakarta: Mediaction
Wong. 2010. Buku  Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. Jakarta: EGC.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar